Rabu, 17 Agustus 2011

Wewenang Khalifah





Khalifah memiliki sejumlah wewenang sebagai berikut:

1. Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syariah yang
memang dibutuhkan untuk memelihara urusan-urusan rakyat.
Hukum-hukum itu harus digali—dengan ijtihad yang sahih—
dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan diadopsi oleh
Khalifah, hukum-hukum itu menjadi undang-undang yang
wajib ditaati, dan seorang pun tidak boleh melanggarnya.

2. Khalifah adalah penanggung jawab politik dalam negeri
maupun luar negeri sekaligus. Khalifah juga yang memegang
kepemimpinan atas angkatan bersenjata; ia memiliki hak
untuk mengumumkan perang serta mengadakan perjanjian
damai, gencatan senjata, dan seluruh bentuk perjanjian
lainnya.

3. Khalifah memiliki hak untuk menerima atau menolak para
duta negara asing. Khalifah juga berwenang mengangkat dan
memberhentikan para duta kaum Muslim.

4. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan para Mu‘âwin dan para wali/gubernur
(termasuk para amil). Mereka semuanya bertanggung jawab
di hadapan Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung
jawab di hadapan Majelis Umat.

5. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan Qâdhî al-Qudhât (Kepala Kehakiman) dan
para qâdhî (hakim) yang lain, kecuali Qâdhî Mazhâlim.
Khalifahlah yang mengangkat Qâdhi Mazhâlim, sedangkan
berkaitan dengan pencopotannya, Khalifah harus terikat
dengan beberapa batasan yang akan dijelaskan pada bab al-
Qâdhâ’. Khalifah juga memiliki wewenang mengangkat dan
memberhentikan para dirjen, panglima militer, komandan
batalion, dan komandan kesatuan. Mereka semuanya
ber tanggungjawab di hadapan Khalifah dan tidak
bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.

6. Khalifah memiliki wewenang mengadopsi hukum-hukum
syariah yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN.
Khalifah memiliki wewenang menetapkan rincian APBN,
besaran anggaran untuk masing-masing pos baik berkaitan
dengan pemasukan maupun pengeluaran.


Adapun dalil-dalil rinci untuk keenam poin di atas maka:

poin (1) dalilnya adalah Ijmak Sahabat. Hal itu karena lafal
undang-undang merupakan istilah spesifik, yang maknanya
adalah perintah yang dikeluarkan oleh penguasa untuk dijalankan
oleh semua orang. Undang-undang didefinisikan sebagai
sekumpulan kaidah yang digunakan penguasa untuk memaksa
semua orang agar mengikutinya dalam semua interaksi mereka.
Artinya, jika penguasa telah memerintahkan hukum-hukum
tertentu, hukum-hukum itu telah menjadi undang-undang yang
mengikat semua orang. Jika penguasa tidak memerintahkan
hukum-hukum tertentu, hukum-hukum tersebut tidak menjadi
undang-undang, dan semua orang tidak harus terikat dengan
hukum yang tidak diperintahkan penguasa. Dalam hal ini, kaum
Muslim wajib terikat dengan hukum-hukum syariah, karena
mereka wajib menjalankan perintah-perintah dan laranganlarangan
Allah, dan bukannya wajib terikat dengan perintah dan
larangan penguasa. Artinya, yang wajib mereka jadikan pegangan
adalah hukum syariah itu sendiri, bukan perintah penguasa.
Hanya saja, dalam menentukan hukum syariah itu, para Sahabat
memang banyak berbeda pendapat. Sebagian mereka
memahami suatu pemahaman dari nash-nash syariah berbeda
dengan apa yang dipahami oleh sebagian yang lain. Karena itu,
masing-masing berjalan sesuai dengan apa yang dipahaminya.
Apa yang ia pahami itu menjadi hukum syariah baginya. Hanya
saja, terdapat hukum-hukum syariah yang mana pengurusan
berbagai urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah) mengharuskan
agar kaum Muslim semuanya terikat dengan satu pendapat saja
dan agar masing-masing tidak berjalan sesuai dengan ijtihadnya
sendiri-sendiri.
Fakta tersebut telah benar-benar terjadi secara real. Abu
Bakar berpandangan, perlu membagikan harta ghanîmah kepada
kaum Muslim secara sama rata, karena harta itu merupakan hak
mereka semua secara sama. Adapun Umar bin al-Khaththab
berpandangan bahwa tidaklah layak orang yang pernah
memerangi Rasulullah saw. diberi bagian harta sama dengan
orang yang dulu pernah berperang bersama Beliau; juga tidak
layak orang fakir diberi harta sama dengan orang kaya. Akan
tetapi, Abu Bakar adalah khalifah ketika itu. Ia berhak
memerintahkan untuk beramal sesuai pendapatnya, yakni berhak
menetapkan pembagian harta ghanîmah secara sama rata.
Seluruh kaum Muslim pun mengikuti ketentuan itu. Semua qâdhî
dan wali melaksanakan ketentuan Abu Bakar tersebut. Umar bin
al-Khaththab pun tunduk pada perintah Abu Bakar itu; ia beramal
sesuai dengan pendapat Abu Bakar dan melaksanakannya.
Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengadopsi
pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Umar
memerintahkan—berdasarkan pendapatnya—pembagian harta
ghanîmah secara berbeda-beda, tidak sama rata; artinya harta
itu dibagikan sesuai dengan skala prioritas dan kebutuhan.
Keputusan itu diikuti oleh seluruh kaum Muslim. Para qâdhî dan
para wali juga menjalankan keputusan tersebut. Dengan
demikian, Ijmak Sahabat ini menjadi legalitas bahwa Imam/
Khalifah memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum tertentu
yang diambil dari syariah melalui ijtihad yang sahih. Imam/
Khalifah berhak memerintahkan kaum Muslim untuk beraktivitas
sesuai dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya itu. Kaum
Muslim wajib untuk menaatinya meskipun yang diadopsi itu
berbeda dengan ijtihad mereka. Kaum Muslim juga wajib untuk
meninggalkan aktivitas berdasarkan pendapat dan ijtihad mereka.
Sebab, hukum-hukum yang telah diadopsi itu merupakan
undang-undang. Dengan demikian, hak menetapkan undangundang
hanyalah milik Khalifah. Selain Khalifah tidak memiliki
wewenang tersebut sama sekali.

Berkaitan dengan poin (2), dalilnya adalah perbuatan
Rasul saw., bahwa Beliaulah yang menunjuk para wali dan qâdhî
sekaligus meminta pertanggungjawaban mereka. Beliaulah yang
mengontrol praktik jual-beli dan mencegah terjadinya penipuan.
Beliaulah yang membagi-bagikan harta kepada masyarakat.
Beliaulah yang mengusahakan pekerjaan bagi mereka yang tidak
memiliki pekerjaan. Beliau pula yang melangsungkan semua
urusan negara di dalam negeri. Demikian pula, Beliaulah yang
menyeru para raja. Beliaulah yang menerima para utusan.
Beliaulah yang melaksanakan semua urusan luar negeri. Bahkan
Beliaulah yang secara langsung memegang tampuk
kepemimpinan angkatan bersenjata dan kadang-kadang Beliau
sendiri yang memimpin berbagai peperangan dan pertempuran.
Beliau pula yang mengirimkan detasemen dan menunjuk
komandannya. Bahkan, ketika Beliau mengangkat Usamah bin
Zaid sebagai komandan detasemen untuk dikirim ke negeri Syam,
lalu banyak Sahabat yang tidak setuju karena usianya yang masih
terlalu muda, Beliau tetap memaksa para Sahabat untuk
menerima kepemimpinan Usamah. Hal itu menunjukkan bahwa
Khalifah adalah panglima militer secara langsung dan bukan
hanya panglima tertinggi (yang sebatas simbol).
Di samping itu, Rasulullah saw. pula yang mengumumkan
perang terhadap Quraisy. Beliau juga yang mengumumkan
perang terhadap Bani Quraizhah, Bani Nadhir, Bani Qainuqa’,
Yahudi Khaibar, dan Romawi. Setiap peperangan yang terjadi,
selalu Beliaulah yang mengumumkannya. Hal itu menunjukkan
bahwa mengumumkan perang adalah semata-mata hak Khalifah.
Begitu juga yang mengadakan berbagai perjanjian dengan
orang-orang Yahudi. Beliau pula yang mengikat perjanjian
dengan Bani Mudallij dan sekutunya dari Bani Dhamrah.
Beliaulah yang mengikat perjanjian dengan Yuhanah bin Ru‘bah
penguasa Aylah. Beliau pula yang mengadakan Perjanjian
Hudaibiyah. Bahkan meskipun kaum Muslim tidak suka terhadap
perjanjian itu, Beliau tidak menjawab perkataan mereka maupun
menolak pendapat mereka. Beliau tetap melangsungkan
Perjanjian Hudaibiyah itu. Semua itu menunjukkan bahwa hanya
Khalifahlah yang memiliki hak untuk mengikat perjanjian, baik
perjanjian damai maupun perjanjian-perjanjian lainnya.

Adapun poin (3), dalilnya adalah bahwa Rasulullahlah
yang menerima dua orang utusan Musailamah al-Kadzab.
Beliaulah yang menerima Abu Rafi’ utusan Quraisy. Beliaulah
yang mengirim sejumlah utusan kepada Heraklius, Kisra,
Muqauqis, Harits al-Ghasani Raja al-Hirah, Harits al-Humairi Raja
Yaman, dan Najasyi Habsyah. Beliaulah yang mengutus Utsman
bin Affan sebagai utusan kepada Quraisy pada Perjanjian
Hudaibiyah. Semua itu menunjukkan bahwa Khalifahlah yang
memiliki wewenang untuk menerima atau menolak duta luar
negeri dan Khalifah pula yang memiliki wewenang untuk
mengangkat para duta negara.

Berkaitan dengan dalil poin (4), sesungguhnya Rasulullahlah
yang telah menunjuk para wali. Beliaulah yang
mengangkat Muadz bin Jabal sebagai wali di Yaman. Beliau juga
yang memberhentikan para wali. Beliaulah yang
memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadhrami dari jabatan wali Bahrain
karena ada pengaduan tentang dirinya dari penduduk Bahrain.
Semua ini menunjukkan bahwa wali bertanggung jawab di
hadapan penduduk wilayah sebagaimana juga bertanggung
jawab di hadapan Khalifah. Para wali juga bertanggung jawab
di hadapan Majelis Umat karena Majelis Umat mewakili seluruh
wilayah. Ini berkaitan dengan wali. Adapun tentang para
Mu‘âwin, Rasulullah saw. memiliki dua Mu‘âwin, yaitu Abu Bakar
dan Umar bin al-Khaththab. Beliau tidak memecat keduanya
dan juga tidak pernah mengangkat selain keduanya sepanjang
hidup Beliau. Beliaulah yang menunjuk keduanya, tetapi tidak
pernah memecat keduanya. Hanya saja, para Mu‘âwin itu
memiliki wewenang karena mendapatkan wewenang dari
Khalifah. Sebab, para Mu‘âwin itu merupakan wakil Khalifah.
Karena itu, Khalifah memiliki hak untuk memberhentikannya
sebagai analogi terhadap akad wakalah, yang mana orang yang
mewakilkan dapat memberhentikan wakilnya.

Adapun poin (5), dalilnya adalah bahwa Rasulullah saw.
pernah mengangkat Ali sebagai qâdhî (hakim) di Yaman. Imam
Ahmad telah menuturkan riwayat dari Amr bin al-‘Ash yang
mengatakan:

Pernah datang kepada Rasulullah dua orang yang sedang
bersengketa. Beliau lalu bersabda kepada Amr, “Wahai Amr,
putuskanlah perkara di antara keduanya!” Amr berkata,
“Andalah yang lebih utama untuk melakukan itu, wahai
Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda, “Sekalipun begitu.”
Amr berkata, “Jika aku memutuskan di antara keduanya, lalu
apa imbalannya bagiku?” Rasulullah saw. bersabda, “Jika
engkau memutuskan sengketa di antara keduanya dan
keputusanmu benar, bagimu sepuluh kebaikan, dan jika
engkau berijtihad lalu salah, bagimu satu kebaikan.”
Khalifah Umar bin al-Khaththab juga pernah mengangkat
dan memberhentikan para wali dan qâdhî. Beliau mengangkat
Syuraih sebagai qâdhî di Kufah dan Abu Musa al-Asy‘ari sebagai
qâdhî di Bashrah. Beliau memberhentikan Surahbil bin Hasanah
dari jabatan wali di Syam dan mengangkat Muawiyah menduduki
jabatan itu. Lalu Surahbil berkata, “Apakah karena ketakutanku
engkau memberhentikan aku atau karena pengkhianatan?” Umar
berkata, “Sekali-kali tidak karena keduanya. Akan tetapi, aku
menghendaki seorang laki-laki yang lebih kuat daripada seorang
laki-laki yang lain.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun pernah mengangkat Abu
al-Aswad sebagai qâdhî, kemudian memberhentikannya. Lalu
Abu al-Aswad berkata, “Karena apa engkau memberhentikan
aku, padahal aku tidak berkhianat, juga tidak melakukan
kesalahan apapun?” Ali menjawab, “Aku melihat kata-katamu
terlalu keras terhadap mereka yang bersengketa.”
Umar bin al-Khaththab maupun Ali bin Abi Thalib
melakukan semua itu dengan dilihat dan didengar oleh para
Sahabat dan tidak ada seorang Sahabat pun yang
mengingkarinya. Semua ini merupakan dalil bahwa Khalifah
memiliki wewenang untuk menunjuk para qâdhî secara umum.
Demikian juga Khalifah berwenang mewakilkan kepada orang
lain untuk menunjuk para qâdhî, dengan menganalogkan hal itu
pada akad wakâlah (perwakilan). Sebab, Khalifah berhak
mewakilkan semua perkara yang menjadi wewenangnya kepada
orang lain, sebagaimana ia juga berhak mewakilkan semua
kebijakan yang menjadi wewenangnya kepada orang lain.

Adapun pengecualian pemecatan Qâdhî Mazhâlîm, maka
hal itu berlaku dalam kondisi ketika Qâdhî Mazhâlîm sedang
memeriksa perkara yang diajukan atas Khalifah, para mu‘âwin
Khalifah, atau Qâdhî Qudhât-nya. Hal itu menyandar pada
kaidah syariah:

Sarana/wasilah yang mengantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram.

Jika pemecatan Qâdhî Mazhâlîm dalam kondisi seperti ini
menjadi wewenang Khalifah, maka hal itu dapat mempengaruhi
keputusan Qâdhî Mazhâlim, dan berikutnya akan dapat
menyebabkan terabaikannya hukum syariah. Ini adalah haram.
Karena itu, meletakkan kewenangan memecat Qâdhî Mazhâlim
di tangan Khalifah dalam kondisi semacam ini merupakan sarana
yang akan mengantarkan pada keharaman. Kaidah tersebut
cukup didasarkan pada dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) dan
tidak harus pasti. Dengan demikian, wewenang untuk memecat
Qâdhî Mazhâlim dalam kondisi seperti ini menjadi milik
Mahkamah Mazhâlim, sementara dalam kondisi yang lain
hukumnya tetap berdasarkan hukum asalnya, yakni hak
menunjuk dan memecat Qâdhi Mazhâlim menjadi milik Khalifah.
Sementara itu, dalil pengangkatan para direktur
departemen adalah bahwa Rasulullah saw. telah mengangkat
para sekretaris untuk tiap-tiap departemen dalam struktur negara.
Mereka itu layaknya direktur departemen. Beliau telah
mengangkat Muaiqib bin Abi Fathimah ad-Dausi untuk mengurusi
cincin (stempel) Beliau, sebagaimana Beliau telah
mengangkatnya untuk mengurusi harta ghanîmah (pampasan
perang). Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman untuk
mencatat hasil buah-buahan Hijaz. Beliau mengangkat Zubair
bin al-‘Awam untuk menulis harta zakat. Beliau juga mengangkat
Mughirah bin Syu‘bah untuk mencatat berbagai utang-piutang
dan transaksi. Begitulah praktik yang terjadi ketika itu.
Adapun pengangkatan panglima militer dan para
komandan brigade pasukan (yakni komandan yang diakadkan
Liwâ’ kepadanya), dalilnya adalah karena Rasulullah saw. telah
mengangkat Hamzah bin Abdul Muthallib sebagai komandan
yang memimpin tiga puluh orang untuk menghadang kafilah
Quraisy di tepi pantai. Beliau juga telah mengangkat Ubaidah
bin al-Harits sebagai komandan atas enam puluh orang, lalu
Beliau mengutusnya ke suatu tempat di Lembah ar-Rabigh untuk
menghadang Quraisy. Beliau mengangkat Saad bin Abi Waqash
untuk memimpin dua puluh orang dan Beliau mengutusnya ke
arah Makkah. Begitulah, Rasulullah saw. mengangkat para
komandan pasukan. Hal itu menunjukkan bahwa Khalifahlah
yang mengangkat panglima militer dan para amir/komandan
brigade/resimen pasukan.
Mereka semuanya bertanggung jawab kepada Rasulullah
saw. dan bukan bertanggung jawab kepada yang lain. Hal itu
menunjukkan bahwa para qâdhî, direktur-direktur departemen,
panglima militer, komandan-komandan brigade/resimen, dan
seluruh pegawai negara bertanggung jawab kepada Khalifah, dan
bukan bertanggung jawab kepada Majelis Umat. Seorang pun
dari mereka tidak ditanya di hadapan Majelis Umat, kecuali para
Mu‘âwin, para wali, dan para amil (penguasa setingkat bupati),
karena mereka termasuk penguasa. Selain mereka tidak seorang
pun yang bertanggung jawab kepada Mejelis Umat. Akan tetapi,
semuanya bertanggung jawab kepada Khalifah.

Poin (6) dalilnya adalah, bahwa sesungguhnya anggaran
negara, dalam kaitannya dengan pos-pos pemasukan dan pospos
pengeluaran, telah dibatasi oleh hukum syariah; tidak boleh
dipungut satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum
syariah; juga tidak boleh dibelanjakan satu dinar pun kecuali
harus sesuai dengan hukum syariah. Hanya saja, penetapan
rincian belanja atau apa yang disebut dengan pos-pos anggaran,
maka hal itu diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Demikian juga pasal-pasal pendapatan. Misalnya, Khalifah boleh
menetapkan besar kharaj atas tanah kharajiah sekian, atau
besarnya jizyah yang harus dipungut sekian. Yang demikian dan
semisalnya merupakan rincian pemasukan. Ini yang disebut
dengan pos-pos pemasukan. Khalifah juga boleh mengatakan,
“Ini dibelanjakan untuk pembangunan jalan ini, yang ini untuk
membiayai rumah sakit ini.” Yang demikian dan semisalnya
merupakan pos-pos pembelanjaan. Semua ini dikembalikan pada
pendapat Khalifah. Khalifahlah yang menetapkannya sesuai
dengan pendapat dan ijtihadnya. Yang demikian itu karena
Rasulullah saw. telah mengambil pemasukan dari para amil.
Beliau pula yang menangani pembelanjaannya. Sebagian wali
diizinkan untuk memungut harta pemasukan negara dan
membelanjakannya sebagaimana yang terjadi ketika Beliau
mengangkat Muadz bin Jabal sebagai wali di Yaman. Kemudian
Khulafaur Rasyidin dalam kapasitasnya sebagai khalifah, masingmasing
telah memungut harta dan membelanjakannya sesuai
dengan pendapat dan ijtihadnya. Tidak ada seorang Sahabat
pun yang mengingkari hal itu. Tidak ada seorang pun selain
Khalifah yang boleh memungut harta, meski hanya satu dinar,
juga tidak seorang pun selain Khalifah yang boleh membelanjakan
harta kecuali telah diizinkan oleh Khalifah. Hal itu seperti
yang terjadi saat Umar bin al-Khaththab mengangkat Muawiyah
sebagai wali. Umar menetapkannya sebagai wali ‘âm yang
memiliki wewenang secara umum, termasuk memungut dan
membelanjakan harta. Semua ini menunjukkan bahwa yang
berhak menentukan rincian dan pos-pos anggaran negara
hanyalah Khalifah atau orang yang dia tunjuk untuk mewakilinya.
Inilah dalil-dalil yang rinci terhadap detail wewenang
Khalifah. Semua itu terrangkum dalam apa yang diriwayatkan
Ahmad dan al-Bukhari dari Abdullah bin Umar, bahwa ia
mendengar Nabi saw. pernah bersabda:

Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya. (HR Muslim dan Ahmad).

Artinya, semua hal yang berhubungan dengan pemeliharaan
berbagai urusan rakyat dalam semua hal, wewenangnya
hanya milik Khalifah. Khalifah boleh mewakilkannya kepada
orang yang ia kehendaki untuk menangani apa saja yang ia
kehendaki dan kapan saja ia kehendaki. Semua ini adalah sebagai
analog terhadap akad wakâlah.

(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M]

0 komentar:

Posting Komentar