Kamis, 18 Agustus 2011

Batas Waktu Pengangkatan Khalifah

Batas waktu yang diberikan kepada kaum Muslim untuk
mengangkat khalifah adalah tiga hari dengan tiga malamnya.
Seorang Muslim tidak boleh melewati tiga malam sedangkan di
pundaknya tidak terdapat baiat kepada Khalifah. Adapun
penetapan batas waktu tertinggi tiga hari karena mengangkat
Khalifah adalah wajib sejak Khalifah sebelumnya meninggal dunia
atau dipecat. Hanya saja, kaum Muslim boleh menunda
pengangkatan itu selama tiga hari dengan tiga malamnya sambil
tetap berusaha mewujudkannya. Jika setelah lebih dari tiga
malam kaum Muslim belum juga berhasil mengangkat khalifah,
maka harus diperhatikan. Jika kaum Muslim tetap sibuk berusaha
mengangkat seorang khalifah, namun ternyata mereka belum
mampu mewujudkannya selama tiga malam disebabkan oleh
hal-hal yang memaksa, yang berada di luar kemampuan mereka,
maka dosa telah gugur dari diri mereka. Sebab, mereka telah
sibuk berusaha melaksanakan kewajiban tersebut dan karena
keterpaksaan yang memaksa penundaan itu. Ibn Hibban dan
Ibn Majah telah menuturkan riwayat dari Ibn Abbas yang
mengatakan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) dari umatku kesalahan (yang tidak disengaja), kelupaan, dan keterpaksaan. (HR Ibn Hibban dan Ibn Majah).

Pemecatan Khalifah

Jika Khalifah kehilangan satu dari tujuh syarat in‘iqâd maka
secara syar‘i ia tidak boleh terus menduduki jabatan kekhilafahan.
Pada kondisi ini ia harus dipecat. Pihak yang memiliki wewenang untuk menetapkan
pemecatannya hanya Mahkamah Mazhâlim. Mahkamah
Mazhâlim-lah yang berwenang memecat Khalifah jika ia telah
kehilangan suatu syarat di antara syarat-syarat in‘iqâd ataukah
tidak. Sebab, terjadinya suatu perkara yang termasuk perkara
yang menjadikan Khalifah dipecat dan yang mengharuskan
pemecatannya merupakan mazhlimah (kezaliman) di antara
berbagai kezaliman yang harus dihilangkan. Perkara tersebut
merupakan perkara yang memerlukan penetapan, yang tentu
harus ditetapkan di hadapan qâdhî. Mahkamah Mazhâlim adalah
pihak yang berhak memutuskan penghilangan mazhâlim
(kezaliman) dan Qâdhî Mazhâlim-lah yang memiliki wewenang
untuk menetapkan terjadinya mazhlimah (kezaliman) serta
memberikan keputusan terhadapnya. Karena itu, Mahkamah
Mazhâlim adalah pihak yang berhak menetapkan apakah
Khalifah telah kehilangan salah satu di antara syarat-syarat in‘iqâd
atau tidak. Mahkamah Mazhâlim pula yang berhak menetapkan
pemecatan Khalifah.

Masa Kepemimpinan Khalifah

 Kepemimpinan (jabatan) Khalifah tidak mempunyai masa
tertentu yang dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama
Khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukumhukumnya,
serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara
dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah
menjadi khalifah. Sebab, teks baiat yang terdapat di dalam hadishadis
yang ada semuanya bersifat mutlak dan tidak terikat dengan
jangka waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam
alBukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw., yakni sabdanya
sebagai berikut:

Dengar dan taatilah pemimpin kalian sekal ipun yang memimpin adalah seorang budak hitam, yang kepalanya seperti dipenuhi bisul. (HR al-Bukhari).

Dalam riwayat lain, yakni riwayat Imam Muslim dari jalan
Ummu al-Hushain, dinyatakan:

(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).

Di samping itu, Khulafaur Rasyidin masing-masing telah
dibaiat dengan baiat yang bersifat mutlak, sebagaimana baiat
yang terdapat di dalam sejumlah hadis. Kekhalifahan mereka tidak
dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masing-masing dari
Khulafaur Rasyidin itu memimpin sejak dibaiat sampai meninggal
dunia.

Negara Khilafah: Negara Manusiawi, Bukan Negara Teokrasi

Daulah Islam adalah Khilafah, yaitu kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Jika seorang khalifah dibaiat
dengan baiat yang sah di suatu negeri kaum Muslim dan Khilafah
telah ditegakkan, maka haram bagi  kaum Muslim di  seluruh
penjuru dunia mendirikan Khilafah yang lain. Sebab, Rasulullah
saw. pernah bersabda:

Jika dua orang Khalifah dibaiat maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).
Khilafah didirikan adalah  untuk melaksanakan hukum-
hukum  syariat  Islam  dengan  pemikiran-pemikiran  yang
didatangkan oleh Islam dan hukum-hukum yang disyariatkannya
serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan
mengenalkan dan mendakwahkan  Islam  sekaligus berjihad di
jalan Allah. Khilafah disebut juga dengan Imâmah dan Imârah
al-Mu’minîn. Jabatan Khilafah merupakan jabatan duniawi, bukan
jabatan ukhrawi. Khilafah ada untuk menerapkan agama Islam
terhadap manusia dan untuk menyebarkannya di tengah-tengah
umat manusia. Khilafah secara pasti bukanlah kenabian.
Kenabian merupakan  jabatan  ilahiah; Allah memberi-
kannya kepada siapa yang Ia kehendaki. Dalam kenabian, nabi
atau rasul menerima syariat dari Allah melalui wahyu, sementara
Khilafah merupakan  jabatan manusiawi;  di dalamnya  kaum
Muslim membaiat orang yang mereka kehendaki dan mereka
mengangkat seseorang yang mereka inginkan dari kaum Muslim
sebagai  khalifah.  Sayidina Muhammad  saw. adalah  seorang
penguasa  yang menerapkan  syariah  yang  didatangkan
kepadanya. Dengan  demikian,  Beliau memangku  jabatan
kenabian  dan  kerasulan,  dan  pada waktu  yang  sama  juga
memangku  jabatan  kepemimpinan atas  kaum Muslim dalam
melaksanakan  hukum-hukum  Islam.  Al lah  SWT  telah
memerintahkan Beliau untuk memutuskan perkara, sebagaimana
juga telah memerintahkan Beliau agar menyampaikan risalah.
Allah SWT berfirman kepada Beliau:

Khalifah Terikat dengan Hukum Syariah dalam Melegislasi Hukum

Khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syariah dalam
men-tabanni (mengadopsi) hukum. Khalifah haram mengadopsi
suatu hukum pun yang tidak di-istinbâth (digali) dari dalil-dalil
syariah dengan  istinbâth yang sahih. Khalifah juga terikat dengan
hukum-hukum  yang diadopsinya,  termasuk dengan metode
istinbâth  yang menjadi  pegangannya. Khalifah  tidak  boleh
mengadopsi suatu hukum pun yang digali dengan metode yang
bertentangan dengan metode penggalian  hukum  yang  telah
diadopsinya. Ia juga tidak boleh memberikan keputusan yang
bertentangan dengan hukum-hukum  yang  telah diadopsinya.
Dengan demikian, Khalifah wajib  terikat dengan dua perkara
tersebut.
Dalil-dalil untuk perkara pertama, yaitu bahwa Khalifah
harus terikat dengan hukum-hukum syariah dalam mengadopsi
hukum, adalah:

Pertama: apa yang telah diwajibkan Allah SWT kepada
setiap orang Muslim, baik ia seorang khalifah ataupun bukan,
yaitu  untuk melaksanakan  semua perbuatan  sesuai  dengan
hukum-hukum syariah. Allah SWT telah berfirman:

Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Tatacara Baiat

Sebelumnya kami telah menjelaskan dalil-dalil baiat dan
bahwa baiat adalah metode pengangkatan khalifah dalam Islam.
Adapun bagaimana baiat itu terjadi, maka ia bisa dilakukan
dengan cara berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan.

Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadis, ia berkata, “Aku
pernah menyaksikan Ibn Umar pada saat orang-orang telah
bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan. Ibn Umar
berkata bahwa ia telah menulis: Aku berikrar untuk
mendengarkan dan menaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan
sebagai amirul mukminin atas dasar Kitabullah dan Sunnah RasulNya
selama aku mampu.”

Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja, disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang
yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang
belum balig.

Abu Uqail Zuhrah bin Ma‘bad telah menyampaikan
hadis dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa
dengan Nabi saw. Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti
Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata, “Ya Rasulullah
saw., terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw. bersabda, “Ia masih
kecil.” Beliau lalu mengusap kepalanya dan mendoakannya. (HR
al-Bukhari).

Rabu, 17 Agustus 2011

Wewenang Khalifah





Khalifah memiliki sejumlah wewenang sebagai berikut:

1. Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syariah yang
memang dibutuhkan untuk memelihara urusan-urusan rakyat.
Hukum-hukum itu harus digali—dengan ijtihad yang sahih—
dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan diadopsi oleh
Khalifah, hukum-hukum itu menjadi undang-undang yang
wajib ditaati, dan seorang pun tidak boleh melanggarnya.

2. Khalifah adalah penanggung jawab politik dalam negeri
maupun luar negeri sekaligus. Khalifah juga yang memegang
kepemimpinan atas angkatan bersenjata; ia memiliki hak
untuk mengumumkan perang serta mengadakan perjanjian
damai, gencatan senjata, dan seluruh bentuk perjanjian
lainnya.

3. Khalifah memiliki hak untuk menerima atau menolak para
duta negara asing. Khalifah juga berwenang mengangkat dan
memberhentikan para duta kaum Muslim.

4. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan para Mu‘âwin dan para wali/gubernur
(termasuk para amil). Mereka semuanya bertanggung jawab
di hadapan Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung
jawab di hadapan Majelis Umat.

5. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan Qâdhî al-Qudhât (Kepala Kehakiman) dan
para qâdhî (hakim) yang lain, kecuali Qâdhî Mazhâlim.
Khalifahlah yang mengangkat Qâdhi Mazhâlim, sedangkan
berkaitan dengan pencopotannya, Khalifah harus terikat
dengan beberapa batasan yang akan dijelaskan pada bab al-
Qâdhâ’. Khalifah juga memiliki wewenang mengangkat dan
memberhentikan para dirjen, panglima militer, komandan
batalion, dan komandan kesatuan. Mereka semuanya
ber tanggungjawab di hadapan Khalifah dan tidak
bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.

6. Khalifah memiliki wewenang mengadopsi hukum-hukum
syariah yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN.
Khalifah memiliki wewenang menetapkan rincian APBN,
besaran anggaran untuk masing-masing pos baik berkaitan
dengan pemasukan maupun pengeluaran.

Kesatuan Khilafah

Kaum Muslim di seluruh dunia wajib berada dalam satu
negara dan wajib pula hanya ada satu Khalifah bagi mereka.
Secara syar‘i, kaum Muslim di seluruh dunia haram memiliki lebih
dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.
Begitu pula wajib hukumnya menjadikan sistem
pemerintahan di negara Khilafah sebagai sistem kesatuan dan
haram menjadikannya sebagai sistem federasi. Imam Muslim
telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash
yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu. (HR Muslim).
Imam Muslim juga telah menuturkan riwayat dari Arfajah yang mengatakan:

Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian berkumpul di tangan seseorang (Khalifah), kemudian dia hendak merobek kesatuan kalian dan memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah. (HR Muslim).

Imam Muslim juga telah menuturkan riwayat dari Abu Said al-Khudi, dari Rasulullah saw., bahwa Beliau pernah bersabda:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Pembatasan Jumlah Calon Khalifah

Dari penelitian terhadap tatacara pencalonan Khulafaur
Rasyidin, tampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benarbenar
terjadi. Pada Peristiwa Saqifah Bani Saidah para calon itu
adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Saad bin Ubadah;
dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan
Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga
keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Lalu
pencalonan secara praktis terjadi di antara Abu Bakar dan Saad
bin Ubadah. Kemudian Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi di Saqifah
memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan membaiatnya dengan
baiat in‘iqâd. Pada hari berikutnya kaum Muslim membaiat Abu
Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Berikutnya Abu Bakar mencalonkan Umar dan tidak ada
calon lainnya. Kemudian kaum Muslim membaiat Umar dengan
baiat in‘iqâd, lalu dengan baiat taat.
Selanjutnya Umar mencalonkan enam orang dan
membatasinya pada mereka. Di antara keenam orang itu dipilih
satu orang sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin Auf
berdiskusi dengan kelima calon yang lain dan akhirnya mereka
membatasi calon pada dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Hal itu
dilakukan setelah kelima calon yang lain itu menunjuk dirinya
sebagai wakil. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat
masyarakat. Akhirnya, suara masyarakat menetapkan Utsman
sebagai khalifah.

Amir Sementara

Khalifah, ketika merasa ajalnya sudah dekat menjelang
kekosongan jabatan kekhilafahan, memiliki hak untuk menunjuk
amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama
masa proses pengangkatan khalifah yang baru. Amir sementara
itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas
pokoknya adalah melangsungkan pemilihan khalifah yang baru
dalam jangka waktu tiga hari.

Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi)
suatu hukum. Sebab, pengadopsian hukum itu adalah bagian
dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga,
amir sementara itu tidak boleh mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan kekhilafahan atau mendukung salah seorang
calon yang ada. Sebab, Umar bin al-Khaththab telah menunjuk
amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk
menduduki jabatan Kekhilafahan.

Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya
khalifah yang baru. Sebab, tugasnya memang hanya sementara
waktu untuk kepentingan pengangkatan khalifah yang baru itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir
sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah:

Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaiatan Khalifah

Sesungguhnya prosedur praktis yang bisa menyempurnakan
pengangkatan Khalifah sebelum dibaiat boleh
menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini
sebagaimana yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur
Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah saw. Mereka
adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh Sahabat
mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal tatacara itu
termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan
dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan
perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum
Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum
Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam
pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa
sebagian kaum Muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah.
Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan
Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah
tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan
pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin
Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah
Abu Bakar.

Kemudian pada hari kedua, kaum Muslim diundang
ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana.
Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat in‘iqâd. Dengan
itulah Abu Bakar menjadi khalifah kaum Muslim. Sementara itu,
baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan
mengantarkannya pada kematian, dan khususnya karena
pasukan kaum Muslim sedang berada di medan perang melawan
negara besar kala itu, Persia dan Romawi, maka Abu Bakar
memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka
mengenai siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim
sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung
selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta
pendapat kaum Muslim dan ia akhirnya mengetahui pendapat
mayoritas kaum Muslim, maka Abu Bakar menunjuk Umar—
yakni mencalonkannya, sesuai dengan bahasa sekarang—agar
Umar menjadi khalifah setelahnya. Penunjukkan atau pencalonan
itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai
khalifah setelah Abu Bakar. Sebab, setelah wafatnya Abu Bakar,
kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk
memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah
Umar sah menjadi khalifah kaum Muslim; bukan dengan proses
pengumpulan pendapat kaum Muslim, juga bukan dengan proses
penunjukkan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu
Bakar merupakan akad Kekhilafahan kepada Umar tentu tidak
lagi diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash
yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang menunjukkan secara
jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui
baiat kaum Muslim.

Metode Pengangkatan Khalifah

Ketika syariah mewajibkan umat Islam untuk mengangkat
seorang khalifah bagi mereka, syariah juga telah menentukan
metode pengangkatan yang harus dilaksanakan untuk
mengangkat khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-
Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Dengan
demikian, pengangkatan khalifah itu dilakukan dengan baiat
kaum Muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan
Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum Muslim
di sini adalah kaum Muslim yang menjadi rakyat Khalifah
sebelumnya, jika Khalifah sebelumnya itu ada, atau kaum Muslim
penduduk suatu wilayah yang di situ hendak diangkat seorang
khalifah, jika sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah
telah ditetapkan berdasarkan baiat kaum Muslim kepada
Rasulullah saw. dan berdasarkan perintah Beliau kepada kita
untuk membaiat seorang imam/khalifah. Baiat kaum Muslim
kepada Rasul saw. sesungguhnya bukanlah baiat atas kenabian,
melainkan baiat atas pemerintahan. Sebab, baiat itu adalah baiat
atas amal, bukan baiat untuk membenarkan kenabian. Beliau
dibaiat tidak lain dalam kapasitasnya sebagai penguasa, bukan
dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul. Sebab, pengakuan
atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan
masalah baiat. Dengan demikian, baiat kaum Muslim kepada
Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas Beliau sebagai
kepala negara.

Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan al-
Hadits. Allah SWT telah berfirman:

Syarat-syarat Khalifah

Dalam diri Khalifah wajib terpenuhi tujuh syarat sehingga
ia layak menduduki jabatan Khilafah dan sah akad baiat
kepadanya dalam Kekhilafahan. Tujuh syarat tersebut merupakan
syarat in‘iqâd (syarat legal). Jika kurang satu syarat saja maka
akad kekhilafahannya tidak sah.

Syarat In‘iqâd Khilafah

Pertama: Khalifah harus seorang Muslim. Sama sekali
tidak sah Khilafah diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib
pula menaatinya, karena Allah SWT telah berfirman:

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling
kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah.
Pengungkapan dengan kata “lan” yang ber fungsi untuk
menyatakan selamanya (li ta’bîd) merupakan qarînah (indikasi)
untuk menyatakan larangan tegas orang kafir memegang suatu
pemerintahan atas kaum Muslim, baik menyangkut jabatan
Khilafah ataupun selainnya. Karena Allah telah mengharamkan
adanya jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin
maka haram hukumnya kaum Muslim menjadikan orang kafir
sebagai penguasa atas mereka.
Demikian pula, Khalifah merupakan waliy al-amri,
sementara Allah SWT telah mensyaratkan bahwa seorang waliy
al-amri haruslah seorang Muslim. Allah SWT telah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka. (TQS an-Nisa’ [4]: 83).

KHALIFAH


Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukumhukum syariah. Hal itu karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itu diangkatlah seseorang yang melaksanakan pemerintahan sebagai wakil dari umat. Allah telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan seluruh hukum syariah. Sesungguhnya Khalifah itu diangkat oleh kaum Muslim. Karena itu, realitasnya Khalifah adalah wakil umat dalam  menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan  penerapan hukum-hukum syariah. Jadi, seseorang itu tidak menjadi khalifah kecuali jika umat membaiatnya. Baiat umat kepada Khalifah untuk menduduki jabatan Khilafah telah menjadikannya sebagai pihak yang mewakili umat. Penyerahan jabatan Kekhilafahan kepada Khalifah dengan baiat itu telah memberinya kekuasaan dan menjadikan umat wajib menaatinya. Orang yang memegang urusan kaum Muslim tidak
menjadi seorang khalifah kecuali jika dibaiat oleh Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi yang ada di tengah-tengah umat dengan baiat in‘iqâd yang sesuai dengan syariah. Baiat dilaksanakan atas dasar keridhaan dan pilihan bebas, dan ia harus memenuhi seluruh syarat in‘iqâd (legal) Khilafah, juga hendaknya setelah terjadinya akad Khilafah itu ia langsung melaksanakan penerapan hukum-hukum syariah.

Sistem Pemerintahan Islam

Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:

Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48).

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 49).