Rabu, 17 Agustus 2011

Pembatasan Jumlah Calon Khalifah

Dari penelitian terhadap tatacara pencalonan Khulafaur
Rasyidin, tampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benarbenar
terjadi. Pada Peristiwa Saqifah Bani Saidah para calon itu
adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Saad bin Ubadah;
dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan
Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga
keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Lalu
pencalonan secara praktis terjadi di antara Abu Bakar dan Saad
bin Ubadah. Kemudian Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi di Saqifah
memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan membaiatnya dengan
baiat in‘iqâd. Pada hari berikutnya kaum Muslim membaiat Abu
Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Berikutnya Abu Bakar mencalonkan Umar dan tidak ada
calon lainnya. Kemudian kaum Muslim membaiat Umar dengan
baiat in‘iqâd, lalu dengan baiat taat.
Selanjutnya Umar mencalonkan enam orang dan
membatasinya pada mereka. Di antara keenam orang itu dipilih
satu orang sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin Auf
berdiskusi dengan kelima calon yang lain dan akhirnya mereka
membatasi calon pada dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Hal itu
dilakukan setelah kelima calon yang lain itu menunjuk dirinya
sebagai wakil. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat
masyarakat. Akhirnya, suara masyarakat menetapkan Utsman
sebagai khalifah.

Adapun menyangkut Ali, tidak ada calon lain selain beliau
untuk menduduki jabatan kekhilafahan. Lalu mayoritas kaum
Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia
sebagai khalifah keempat.
Karena dalam proses pembaiatan Utsman ra. telah
terealisasi jangka waktu maksimal yang dibolehkan untuk memilih
khalifah, yaitu tiga hari dengan dua malamnya, demikian juga
jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah
itu menjadi dua orang, maka berikut kami akan menjelaskan
tatacara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk
mengambil faedah darinya:

1. Umar wafat pada Ahad subuh awal bulan Muharam tahun
24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah—semoga Allah
melaknatnya. Umar ter tikam dalam keadaan berdiri
melaksanakan shalat di mihrab pada waktu fajar hari Rabu,
yakni empat hari tersisa dari bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang
telah beliau wasiatkan kepadanya.

2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar ra., Miqdad
mengumpulkan Ahl asy-Syûrâ yang telah diwasiati Umar di
suatu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi)
mereka. Lalu mereka berenam duduk bermusyawarah.
Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin Auf
untuk memilih di antara mereka seorang khalifah dan mereka
rela.

3. Abdurrahman mulai berdiskusi dengan enam calon di atas
dan menanyai masing-masing: jika ia tidak menjadi khalifah,
siapa dari calon yang lainnya yang ia pandang layak sebagai
khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman.
Berikutnya Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua
orang (Ali dan Utsman) dari enam orang itu.

4. Setelah itu Abdurrahman meminta pendapat masyarakat
seperti yang sudah diketahui.

5. Pada malam Rabu, yakni malam hari ketiga setelah wafatnya
Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah putra
saudarinya, Miswar bin Mukhrimah, dan dari sini saya menukil
dari Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir sebagai
berikut:

Pada malam yang pagi harinya merupakan hari keempat
setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra
saudarinya, Miswar bin Mukhrimah, dan ia berkata, “Apakah
engkau tidur, wahai Miswar?” Miswar menjawab, “Demi Allah
aku tidak banyak tidur sejak tiga hari ini...”—yakni tiga malam
setelah wafatnya Umar pada hari Ahad subuh; artinya malam
Senin, malam Selasa, dan malam Rabu. Lalu Abdurrahman
berkata, “Pergilah engkau dan panggilkan Ali dan Utsman
untukku.....” Kemudian Abdurrahman pergi keluar menuju
masjid bersama Ali dan Utsman....Lalu ia menyeru orangorang
secara umum, “Ash-Shalâh jâmi‘ah (Mari kita shalat
berjamaah).” Saat itu adalah waktu fajar hari Rabu. Kemudian
Abdurrahman mengambil tangan Ali—semoga Allah meridhai
dan memuliakan wajahnya. Abdurrahman menanyai Ali
tentang kesediaannya untuk dibaiat berdasarkan al-Kitab dan
as-Sunnah Rasulullah serta berdasarkan tindakan (kebijakan)
Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar sebelumnya. Lalu Ali
menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal:
berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah, iya, sedangkan
berdasarkan tindakan (kebijakan) Abu Bakar dan Umar, maka
Ali akan berijtihad sesuai dengan pendapatnya sendiri.
Abdurrahman pun melepaskan tangan Ali. Berikutnya
Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai
Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman
menjawab, “Demi Allah, iya (bersedia, peny.).” Saat itu juga
sempurnalah pembaiatan terhadap Utsman ra.
Suhaib mengimami shalat subuh dan shalat zuhur hari itu.
Kemudian Utsman mengimami shalat ashar pada hari itu juga
sebagai khalifah kaum Muslim. Artinya, meskipun baiat in‘iqâd
kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, kepemimpinan
Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall
wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan
menjelang shalat ashar. Ini karena para Sahabat berdesakdesakan
untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari
dan menjelang shalat ashar. Pembaiatan itu akhirnya selesai
dilakukan menjelang shalat ashar. Dengan begitu, berakhirlah
kepemimpinan Suhaib, dan Utsman memimpin shalat ashar
dalam kapasitasnya sebagai khalifah kaum Muslim.
Penulis Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir)
menjelaskan, mengapa Suhaib masih mengimami shalat zuhur,
sementara sudah diketahui bahwa pembaiatan Utsman telah
sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata:

....Orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian
Utsman pergi ke Dâr asy-Syûrâ (yakni rumah tempat
berkumpulnya Ahl asy-Syûrâ), lalu sisanya yang lain
membaiat Utsman di tempat itu; seakan-akan pembaiatan itu
baru sempurna setelah shalat zuhur. Suhaib pada hari itu
mengimami shalat zuhur di Masjid Nabawi, sedangkan shalat
pertama kali yang dipimpin oleh Khalifah Amirul Mukminin
Utsman bersama kaum Muslim adalah shalat ashar...

Dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat di seputar hari
penikaman dan wafatnya Umar serta pembaiatan Utsman. Akan
tetapi, kami akan menyebutkan riwayat yang lebih kuat di antara
riwayat yang ada.
Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil
sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah
sebelumnya lengser, baik karena meninggal dunia atau dicopot,
yaitu:

1. Aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan pada
malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.

2. Seleksi calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in‘iqâd. Hal
ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.

3. Pembatasan jumlah calon yang memenuhi kelayakan
dilakukan dua kali:
(1) dibatasi sebanyak enam orang; (2) dibatasi menjadi dua orang.
Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya
sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan
pencalonan khalifah itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan
calon itu sebanyak enam orang. Keenam orang itu kemudian
mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman.
Setelah melalui diskusi, Abdurrahman kemudian membatasi
pencalonan pada dua orang. Rujukan semua ini, sebagaimana
yang sudah jelas, adalah umat atau pihak yang mewakili umat.

4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya
proses pembaiatan dan pengangkatan khalifah, bukan dengan
pengumuman hasil pemilihan khalifah. Sebab, kepemimpinan
Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi
berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman.
Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan
undang-undang yang menentukan tatacara pemilihan khalifah
selama tiga hari tiga malam. Undang-undang untuk itu telah
dibuat dan akan selesai didiskusikan serta akan diadopsi pada
waktunya nanti, dengan izin Allah.

Ketentuan di atas berlaku pada saat ada Khalifah, yang
kemudian meninggal atau dicopot, dan hendak diangkat khalifah
baru untuk menggantikan posisinya. Adapun jika sebelumnya
memang belum terdapat khalifah, maka wajib bagi kaum Muslim
mengangkat seorang khalifah bagi mereka untuk menerapkan
hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
dunia. Demikian sebagaimana kondisi saat ini sejak lenyapnya
Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 Rajab 1342 H,
bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M. Karena itu, setiap
negeri dari berbagai negeri yang ada di Dunia Islam saat ini
berhak untuk membaiat seorang khalifah sehingga dengan itu
terwujud Khilafah. Jika suatu wilayah di manapun dari berbagai
wilayah di Dunia Islam ini telah membaiat seorang khalifah, dan
akad Kekhilafahan telah terwujud padanya, maka menjadi
kewajiban bagi kaum Muslim di berbagai wilayah lainnya untuk
membaiatnya dengan baiat taat atau baiat inqiyâd (baiat
kepatuhan). Ini berlaku setelah terwujud akad kekhilafahan pada
khalifah yang baru tersebut dengan baiat penduduk di negerinya,
asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut:

1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki
(bersifat independen, peny.), yang hanya bersandar kepada
kaum Muslim saja, dan tidak bersandar pada suatu negara
kafir atau suatu kekuasaan kafir manapun.

2. Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah kemanan Islam,
bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik
keamanan dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan
perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum
Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.

3. Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara
total, revolusioner (sekaligus), dan menyeluruh, serta langsung
mengemban dakwah islamiyah.

4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in‘iqâd
kekhilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah,
karena yang wajib adalah syarat in‘iqâd.

Jika negeri itu telah memenuhi keempat hal di atas, maka
hanya dengan baiat negeri itu saja Khilafah sesungguhnya telah
terwujud dan akad kekhilafan telah terjadi. Dalam hal ini, Khalifah
yang telah mereka baiat dengan baiat in‘iqâd secara sah
merupakan khalifah yang sesuai dengan syariah sehingga
pembaiatan kepada yang lain—setelah itu, peny.—menjadi tidak
sah.
Dengan demikian, negeri lain manapun yang membaiat
seorang khalifah lain setelah itu adalah batil dan tidak sah, karena
Rasulullah saw. pernah bersabda:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

...Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. (HR Muslim).

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu. (HR Muslim).

(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M]

3 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Unknown mengatakan...

keren, keren sejarahnya.

Unknown mengatakan...

bgus2

Posting Komentar