Rabu, 17 Agustus 2011

Syarat-syarat Khalifah

Dalam diri Khalifah wajib terpenuhi tujuh syarat sehingga
ia layak menduduki jabatan Khilafah dan sah akad baiat
kepadanya dalam Kekhilafahan. Tujuh syarat tersebut merupakan
syarat in‘iqâd (syarat legal). Jika kurang satu syarat saja maka
akad kekhilafahannya tidak sah.

Syarat In‘iqâd Khilafah

Pertama: Khalifah harus seorang Muslim. Sama sekali
tidak sah Khilafah diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib
pula menaatinya, karena Allah SWT telah berfirman:

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling
kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah.
Pengungkapan dengan kata “lan” yang ber fungsi untuk
menyatakan selamanya (li ta’bîd) merupakan qarînah (indikasi)
untuk menyatakan larangan tegas orang kafir memegang suatu
pemerintahan atas kaum Muslim, baik menyangkut jabatan
Khilafah ataupun selainnya. Karena Allah telah mengharamkan
adanya jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin
maka haram hukumnya kaum Muslim menjadikan orang kafir
sebagai penguasa atas mereka.
Demikian pula, Khalifah merupakan waliy al-amri,
sementara Allah SWT telah mensyaratkan bahwa seorang waliy
al-amri haruslah seorang Muslim. Allah SWT telah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka. (TQS an-Nisa’ [4]: 83).


Tidak dinyatakan di dalam al-Quran kata ulil amri kecuali
terkait dengan kenyataan bahwa mereka harus dari golongan
kaum Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa waliy al-amr disyaratkan
haruslah seorang Muslim. Karena Khalifah adalah waliy alamr
dan Khalifah pula yang menunjuk ulil amri selain Khalifah—
di antaranya para Mu‘âwin (pembantu Khalifah), wali (pejabat
setingkat gubernur, peny.), dan amil (pejabat setingkat bupati,
peny.)—maka Khalifah disyaratkan harus seorang Muslim.

Kedua: Khalifah harus seorang laki-laki. Khalifah
tidak boleh seorang perempuan, artinya ia harus laki-laki. Tidak
sah Khalifah seorang perempuan. Hal ini berdasarkan pada apa
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Bakrah yang
berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa
penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra
sebagai raja, Beliau bersabda:

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan. (HR al-Bukhari).


Dengan demikian, pemberitahuan Rasul saw. yang
menafikan keberuntungan bagi orang yang menyerahkan
urusannya kepada seorang wanita merupakan larangan
menyerahkan urusan kepada wanita, karena itu termasuk redaksi
thalab (tuntutan). Karena pemberitahuan itu datang dengan
membawa celaan kepada orang yang menyerahkan urusannya
kepada seorang wanita, yaitu dengan menafikan keberuntungan
bagi mereka, maka ia menjadi qarînah (indikasi) adanya larangan
yang tegas. Jadi, larangan menyerahkan urusan kepada seorang
wanita di sini telah dikaitkan dengan suatu indikasi (qarînah)
yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tindakan
menyerahkan urusan kepada wanita itu merupakan tuntutan
yang bersifat tegas. Karena itu, mengangkat wanita menjadi waliy
al-amr hukumnya haram. Yang dimaksud dengan mengangkat
wanita sebagai penguasa dalam pemerintahan, yakni sebagai
Khilafah, dan jabatan lain yang termasuk ke dalam jabatan
pemerintahan. Sebab, obyek pembahasan hadis tersebut adalah
pengangkatan putri Kisra sebagai raja. Ini berarti, pengangkatan
tersebut khusus terkait dengan topik pemerintahan yang
disinggung hadis tersebut, bukan sekadar khusus menyangkut
peristiwa pengangkatan putri Kisra saja. Sebaliknya, hadis
tersebut tidak bersifat umum mencakup segala sesuatu; ia tidak
mencakup masalah selain pemerintahan. Hadis tersebut tidak
mencakup peradilan, majelis syura dan muhâsabah, memilih
penguasa, dan lainnya. Akan tetapi, menurut penjelasan
sebelumnya, semua itu—yakni aktivitas mengangkat wanita di
luar jabatan pemerintahan, peny.—hukumnya boleh bagi wanita.

Ketiga: Khalifah harus balig. Khalifah tidak boleh orang
yang belum balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud
dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

Telah diangkat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh. (HR Abu Dawud).
Dalam riwayat lain disebutkan:

Telah diangat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari orang gila hingga ia sembuh; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari anak-anak hingga ia balig. (HR Abu Dawud).

Orang yang telah diangkat pena (beban hukum, peny.)
darinya tidak sah mengelola urusannya. Secara syar‘i ia bukan
seorang mukallaf. Karena itu, ia tidak sah menjadi khalifah atau
menduduki jabatan penguasa selainnya, karena ia tidak memiliki
hak untuk mengelola berbagai urusan. Dalil lain yang
menunjukkan ketidakbolehan Khalifah dari kalangan anak-anak
yang belum balig adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari:

Dari Abu Aqil Zuhrah bin Ma‘bad, dari kakeknya Abdullah bin Hisyam, sementara ia mengenal Nabi saw. dan Ibunya, yakni Zainab binti Humaid; ia pernah membawanya menemui Rasulullah saw., lalu ibunya berkata, “Ya Rasulullah, terimalah baiatnya.” Nabi saw. bersabda, “Ia masih kecil.” Lalu Rasul mengusap kepalanya dan mendoakannya. (HR al-Bukhari).

Jika baiat anak kecil tidak dianggap sah, dan ia pun tidak
sah dibaiat oleh orang lain sebagai khalifah, maka lebih utama
lagi ia untuk tidak menjadi khalifah.

Keempat: Khalifah harus orang yang berakal. Orang
gila tidak sah menjadi khalifah. Hal itu sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. (yang artinya): Telah diangkat pena dari tiga
golongan, yang di antaranya disebutkan: orang gila yang rusak
akalnya hingga ia sembuh. Orang yang telah diangkat pena
darinya bukanlah mukallaf. Sebab, akal merupakan manâth attaklîf
(tempat pembebanan hukum) dan syarat bagi absahnya
aktivitas pengaturan berbagai urusan, sedangkan Khalifah jelas
mengatur berbagai urusan pemerintahan dan melaksanakan
penerapan beban-beban syariah. Karena itu, tidak sah jika
Khalifah itu seorang yang gila, karena orang gila tidak layak
mengatur urusannya sendiri. Dengan demikian, lebih tidak layak
lagi jika orang gila mengatur berbagai urusan manusia.

Kelima: Khalifah harus seorang yang adil. Orang fasik
tidak sah diangkat sebagai khalifah. Adil merupakan syarat yang
harus dipenuhi demi keabsahan Kekhilafahan dan
kelangsungannya. Sebab, Allah SWT telah mensyaratkan—
dalam hal kesaksian, ed.—seorang saksi haruslah orang yang
adil. Allah SWT telah berfirman:

....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.... (TQS ath-Thalaq [65]: 2).

Orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada seorang
saksi adalah Khalifah. Karena itu, lebih utama lagi jika ia harus
seorang yang adil. Sebab, jika sifat adil telah disyaratkan bagi
seorang saksi, tentu sifat ini lebih utama lagi jika disyaratkan
bagi Khalifah.

Keenam: Khalifah harus orang merdeka. Sebab,
seorang hamba sahaya adalah milik tuannya sehingga ia tidak
memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Tentu
saja ia lebih tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan
orang lain, apalagi kewenangan untuk mengatur urusan manusia.

Ketujuh: Khalifah harus orang yang mampu. Khalifah
haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan
amanah Kekhilafahan. Sebab, kemampuan ini merupakan
keharusan yang dituntut dalam baiat. Orang yang lemah tidak
akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan
al-Kitab dan as-Sunnah, yang berdasarkan keduanyalah ia
dibaiat. Mahkamah Mazhâlim memiliki hak untuk menetapkan
jenis-jenis kelemahan yang tidak boleh ada pada diri Khalifah
sehingga ia bisa dinilai sebagai orang yang mampu dan termasuk
ke dalam orang-orang yang memiliki kemampuan.

Syarat-syarat Keutamaan

Semua syarat di atas adalah syarat in‘iqâd (syarat legal)
kekhilafahan yang harus ada pada diri Khalifah. Selain ketujuh
syarat tersebut tidak layak menjadi syarat in‘iqâd. Meskipun
demikian, di luar ketujuh syarat tersebut dimungkinkan menjadi
syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) jika memang didukung
oleh nash-nash yang sahih atau merupakan derivasi dari hukum
yang telah ditetapkan berdasarkan nash yang sahih. Hal itu
karena dalam pensyaratan, supaya suatu syarat menjadi syarat
in‘iqâd, ia harus memiliki dalil yang mengandung tuntutan yang
tegas hingga menjadi indikasi (qarînah) yang menunjukkan
kewajibannya. Jika suatu syarat tidak memiliki dalil yang
mengandung tuntutan yang tegas, maka syarat itu merupakan
syarat afdhaliyah saja, bukan syarat in‘iqâd. Tidak ada dalil yang
mengandung tuntutan yang tegas dalam syarat kekhalifahan
kecuali tujuah syarat tersebut. Karena itu, hanya tujuh syarat
itulah yang merupakan syarat in‘iqâd. Adapun syarat-syarat
lainnya yang memiliki dalil yang sahih hanya merupakan syarat
afdhaliyah, seperti ketentuan Khalifah harus dari kalangan
Quraisy, atau ketentuan Khalifah harus seorang mujtahid atau
ahli menggunakan senjata, atau syarat-syarat lainnya yang
memiliki dalil yang tidak tegas.
(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah)


0 komentar:

Posting Komentar