Rabu, 17 Agustus 2011

Amir Sementara

Khalifah, ketika merasa ajalnya sudah dekat menjelang
kekosongan jabatan kekhilafahan, memiliki hak untuk menunjuk
amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama
masa proses pengangkatan khalifah yang baru. Amir sementara
itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas
pokoknya adalah melangsungkan pemilihan khalifah yang baru
dalam jangka waktu tiga hari.

Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi)
suatu hukum. Sebab, pengadopsian hukum itu adalah bagian
dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga,
amir sementara itu tidak boleh mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan kekhilafahan atau mendukung salah seorang
calon yang ada. Sebab, Umar bin al-Khaththab telah menunjuk
amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk
menduduki jabatan Kekhilafahan.

Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya
khalifah yang baru. Sebab, tugasnya memang hanya sementara
waktu untuk kepentingan pengangkatan khalifah yang baru itu.
Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir
sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah:

Umar berkata kepada para calon, “Agar Suhaib memimpin
shalat bersama kalian selama tiga hari, yakni selama kalian
bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib,
“Pimpinlah oleh kamu orang-orang untuk menunaikan shalat
selama tiga hari.” Beliau lalu sampai pada perkataan, “Jika kelima
orang calon telah bersepakat terhadap seseorang, sedangkan yang
menolak satu orang, maka penggallah leher orang itu dengan
pedang....” Ini berarti bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir
bagi mereka. Sebab, ia telah ditunjuk sebagai amir shalat,
sementara kepemimpinan dalam shalat bermakna kepemimpinan
atas manusia. Sebab lainnya, karena ia telah diberi wewenang
untuk menjalankan ‘uqûbat atau sanksi (“penggallah lehernya”),
sementara tidak ada yang boleh melaksanakan hukuman bunuh
itu kecuali seorang amir.

Perkara itu telah terjadi di hadapan para Sahabat tanpa
ada seorang pun yang mengingkarinya. Karena itu, ketentuan
tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak untuk
menunjuk amir sementara yang bertugas melangsungkan
pemilihan khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama
kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang
menetapkan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum
menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan
khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir
sementara.

Dalam masalah ini, kami menetapkan bahwa amir
sementara ini—jika Khalifah, selama masa sakit menjelang
kematiannya, tidak menunjuknya—hendaknya adalah seorang
Mu‘âwin at-Tafwîdh yang paling tua usianya, kecuali jika ia
dicalonkan maka berikutnya adalah Mu‘âwin at-Tafwîdh yang
lebih muda setelahnya di antara para Mu‘âwin at-Tafwîdh yang
ada. Demikian seterusnya. Selanjutnya adalah para Mu‘âwin at-
Tanfîdz dengan urutan seperti itu.

Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan.
Amir sementara adalah Mu‘awin at-Tafwîdh yang paling tua
usianya, jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan maka
Mu‘awin at-Tafwîdh yang lebih muda setelahnya sampai semua
Mu‘âwin at-Tafwîdh habis. Kemudian Mu‘âwin at-Tanfîdz yang
paling tua usianya. Demikian seterusnya. Jika semua Mu‘âwin
masing-masing ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan) maka
Mu‘âwin at-Tanfîdz yang paling muda harus menjadi amir
sementara.

Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada
dalam tawanan. Meskipun demikian, ada beberapa rincian
berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi
Khalifah tertawan dengan terdapat kemungkinan bebas dan
dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Kami akan
mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang
akan dikeluarkan pada waktunya nanti.

Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk
Khalifah untuk mewakili dirinya ketika ia keluar untuk
melaksanakan jihad atau keluar melakukan perjalanan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. setiap kali
Beliau keluar untuk berjihad, atau ketika Beliau melaksanakan
Haji Wada‘, atau yang semisalnya. Artinya, orang yang diangkat
sebagai wakil Khalifah dalam kondisi seperti ini bertugas
menjalankan wewenang sesuai dengan yang ditentukan oleh
Khalifah baginya dalam menjalankan pengaturan berbagai
urusan (ri‘âyah asy-syu’ûn) yang dituntut dalam masa pewakilan
itu.

(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M]

0 komentar:

Posting Komentar