Kamis, 18 Agustus 2011

Negara Khilafah: Negara Manusiawi, Bukan Negara Teokrasi

Daulah Islam adalah Khilafah, yaitu kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Jika seorang khalifah dibaiat
dengan baiat yang sah di suatu negeri kaum Muslim dan Khilafah
telah ditegakkan, maka haram bagi  kaum Muslim di  seluruh
penjuru dunia mendirikan Khilafah yang lain. Sebab, Rasulullah
saw. pernah bersabda:

Jika dua orang Khalifah dibaiat maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).
Khilafah didirikan adalah  untuk melaksanakan hukum-
hukum  syariat  Islam  dengan  pemikiran-pemikiran  yang
didatangkan oleh Islam dan hukum-hukum yang disyariatkannya
serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan
mengenalkan dan mendakwahkan  Islam  sekaligus berjihad di
jalan Allah. Khilafah disebut juga dengan Imâmah dan Imârah
al-Mu’minîn. Jabatan Khilafah merupakan jabatan duniawi, bukan
jabatan ukhrawi. Khilafah ada untuk menerapkan agama Islam
terhadap manusia dan untuk menyebarkannya di tengah-tengah
umat manusia. Khilafah secara pasti bukanlah kenabian.
Kenabian merupakan  jabatan  ilahiah; Allah memberi-
kannya kepada siapa yang Ia kehendaki. Dalam kenabian, nabi
atau rasul menerima syariat dari Allah melalui wahyu, sementara
Khilafah merupakan  jabatan manusiawi;  di dalamnya  kaum
Muslim membaiat orang yang mereka kehendaki dan mereka
mengangkat seseorang yang mereka inginkan dari kaum Muslim
sebagai  khalifah.  Sayidina Muhammad  saw. adalah  seorang
penguasa  yang menerapkan  syariah  yang  didatangkan
kepadanya. Dengan  demikian,  Beliau memangku  jabatan
kenabian  dan  kerasulan,  dan  pada waktu  yang  sama  juga
memangku  jabatan  kepemimpinan atas  kaum Muslim dalam
melaksanakan  hukum-hukum  Islam.  Al lah  SWT  telah
memerintahkan Beliau untuk memutuskan perkara, sebagaimana
juga telah memerintahkan Beliau agar menyampaikan risalah.
Allah SWT berfirman kepada Beliau:

Hendaklah  kamu memutuskan  perkara di  antara mereka menurut apa yang Allah  turunkan.  (TQS al-Maidah  [5]:49).

Sesungguhnya Kami  telah menurunkan Kitab  kepadamu dengan membawa  kebenaran  supaya  kamu mengadili manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. (TQS an-Nisa’ [4] : 105).
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (TQS al-Maidah [5]: 67).

Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberikan peringatan  kepada  kalian dan  kepada  setiap orang yang kepadanya sampai al-Quran ini. (TQS al-An‘am [6]: 19).


Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! (TQS al-Mudatstsir [74]: 1-2).

Rasulullah saw. memangku dua jabatan: jabatan kenabian
dan kerasulan serta jabatan kepemimpinan atas kaum Muslim
di dunia untuk melaksanakan syariat Allah yang telah diwahyukan
kepada Beliau.

Adapun Khalifah sesudah Rasulullah saw. yang memangku
jabatan Khilafah adalah manusia dan mereka bukanlah nabi.
Karena itu, boleh jadi sesuatu terjadi pada mereka sebagaimana
juga terjadi pada manusia secara umum; baik berupa kesalahan,
kekeliruan, kelupaan, kemaksiatan maupun yang lainnya, karena
mereka adalah manusia. Mereka tidaklah ma‘shûm (terpelihara
dari dosa, peny.) karena mereka bukan nabi dan bukan pula
rasul. Rasulullah  saw.  telah memberitahukan bahwa  Imam/
Khalifah mungkin saja berbuat salah. Beliau juga pernah membe-
ritahukan bahwa Khalifah mungkin saja melakukan sesuatu yang
membuat marah manusia, baik berupa kezaliman, kemaksiatan
maupun lainnya. Bahkan Beliau memberitahukan bahwa bisa
saja terjadi kufran bawahan (kekufuran yang nyata) dari Imam/
Khalifah, yang dalam kondisi ini ia tidak boleh ditaati; bahkan ia
harus diperangi.  Imam Muslim  telah menuturkan  riwayat dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Beliau pernah bersabda:

Imam/Khalifah  itu  laksana  perisai  tempat  orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Karena itu, jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat adil maka ia akan memperoleh pahala, dan jika ia memerintahkan selain itu maka ia akan mendapatkan dosanya. (HR Muslim).

Ini artinya Imam/Khalifah tidaklah ma‘shûm dan bahwa
bisa saja ia memerintahkan selain ketakwaan kepada Allah. Imam
Muslim  telah menuturkan  riwayat  dari Abdullah,  yakni  Ibn
Mas‘ud,  yang mengatakan,  bahwa Rasulullah  saw.  pernah
bersabda:

“Sesungguhnya setelah masaku akan datang suatu keadaan yang tidak disukai dan hal-hal yang kalian anggap mungkar.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah saw., apa yang engkau perintahkan  kepada  seseorang  di  antara  kami   yang menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kalian harus menunaikan hak  (baca: kewajiban, ed.) yang telah dibebankan atas kalian dan meminta  kepada Allah hak  yang menjadi milik kalian . ”  (HR Muslim).

Imam  al-Bukhari  juga  telah menuturkan  riwayat  dari
unadah bin Abi Umayah yang berkata: Kami pernah berkunjung
epada Ubadah bin Shamit yang ketika itu sedang sakit. Kami
erkata, “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah
epada kami sebuah hadis—yang dengan itu Allah memberimu
manfaat—yang pernah engkau dengar dari Nabi saw.” Ia  lalu
berkata:

Nabi saw. pernah memanggil kami (untuk membaiat Beliau), lalu kami pun membaiat Beliau. Kemudian Beliau mengatakan kepada kami tentang apa yang harus kami lakukan, yakni kami harus membaiat Beliau untuk mendengarkan dan menaati perintahnya; baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun yang  kami benci, baik  dalam  keadaan  yang  sulit maupun lapang, serta dalam hal yang menjadi pilihan kami; juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali (sabda Beliau), “Jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan dan kalian memiliki bukti atasnya berdasarkan keterangan dari Allah.” (HR al-Bukhari).

Aisyah  ra. menuturkan  bahwa Rasulullah  saw. pernah bersabda:

Hindarilah oleh kalian hukuman-hukuman atas kaum Muslim semampu kalian. Jika memang ada peluang (bagi terdakwa untuk bebas, ed.) maka lepaskanlah dia. Sebab, sesungguhnya Imam/Khalifah  yang  salah dalam mengampuni  (terdakwa) adalah  lebih baik daripada yang  salah dalam memberikan hukuman. (HR at-Tirmidzi).
Hadis-hadis  ini  secara  tegas menyatakan bahwa  Imam/
Khalifah bisa berbuat  salah,  lupa, atau bermaksiat. Sekalipun
demikian, Rasulullah  swa.  sesungguhnya  telah memerintahkan
kaum Muslim agar senantiasa menaati  Imam/Khalifah selama ia
memerintah sesuai dengan Islam, tidak melakukan kekufuran secara
terang-terangan, dan tidak memerintahkan berbuat kemaksiatan.
Atas dasar itu, para Khalifah setelah Rasulullah saw. adalah manusia
biasa yang mungkin berbuat salah ataupun benar. Mereka bukanlah
orang-orang yang ma‘shûm, artinya mereka bukanlah para nabi—
hingga dikatakan bahwa Khilafah adalah negara teokrasi (dawlah
ilâhiyah). Akan tetapi, Khilafah adalah negara manusiawi (dawlah
basyariyyah)—yang memerintah adalah manusia biasa, peny.; di
dalamnya  kaum Muslim membaiat  seorang  khalifah  untuk
menegakkan hukum-hukum syariat Islam.

(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M)

0 komentar:

Posting Komentar