Khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syariah dalam
men-tabanni (mengadopsi) hukum. Khalifah haram mengadopsi
suatu hukum pun yang tidak di-istinbâth (digali) dari dalil-dalil
syariah dengan istinbâth yang sahih. Khalifah juga terikat dengan
hukum-hukum yang diadopsinya, termasuk dengan metode
istinbâth yang menjadi pegangannya. Khalifah tidak boleh
mengadopsi suatu hukum pun yang digali dengan metode yang
bertentangan dengan metode penggalian hukum yang telah
diadopsinya. Ia juga tidak boleh memberikan keputusan yang
bertentangan dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya.
Dengan demikian, Khalifah wajib terikat dengan dua perkara
tersebut.
Dalil-dalil untuk perkara pertama, yaitu bahwa Khalifah
harus terikat dengan hukum-hukum syariah dalam mengadopsi
hukum, adalah:
Pertama: apa yang telah diwajibkan Allah SWT kepada
setiap orang Muslim, baik ia seorang khalifah ataupun bukan,
yaitu untuk melaksanakan semua perbuatan sesuai dengan
hukum-hukum syariah. Allah SWT telah berfirman:
Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Melakukan perbuatan sesuai dengan hukum syariah
mengharuskan seseorang untuk mengadopsi hukum tertentu
ketika pemahaman atas seruan asy-Syâri‘ beragam, yaitu ketika
hukum syariah dalam masalah tersebut beragam, bukan hanya
satu. Karena itu, mengadopsi hukum tertentu dalam perkara apa
saja yang hukum syariahnya beragam adalah wajib atas setiap
Muslim ketika ia hendak melakukan perbuatan, yaitu ketika ia
hendak menerapkan hukum. Karena itu, sikap demikian juga
wajib bagi seorang khalifah ketika ia melakukan aktivitasnya,
yaitu aktivitas pemerintahan.
Kedua: teks baiat yang dipergunakan untuk membaiat
Khalifah mengharuskan Khalifah terikat dengan syariat Islam.
Sebab, baiat itu adalah baiat untuk melakukan aktivitas sesuai
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Karena itu,
Khalifah tidak boleh keluar dari keduanya. Bahkan ia bisa kafir
jika ia keluar dari keduanya dengan disertai keyakinan. Namun,
ia hanya dihukumi bermaksiat, zalim, atau fasik jika keluar dari
Kitabullah dan Sunnah Rasululah saw. dengan tanpa disertai
keyakinan.
Ketiga: Khalifah diangkat untuk menerapkan hukum
syariah. Karena itu, ia tidak boleh mengambil hukum dari selain
hukum syariah untuk ia terapkan atas kaum Muslim. Sebab,
syariah telah melarangnya secara tegas, bahkan sampai pada
derajat menafikan keimanan dari orang yang memutuskan
perkara dengan hukum selain hukum Islam, dan itu merupakan
indikasi yang tegas. Pengertiannya bahwa Khalifah, dalam
mengadopsi berbagai hukum atau dalam melegislasi undang-
undang, wajib hanya terikat dengan hukum-hukum syariah saja.
Jika ia melegislasi satu undang-undang dari selain hukum syariah,
maka ia bisa kafir jika ia meyakini undang-undang tersebut dan
dinilai bermaksiat, zalim, atau fasik jika ia tidak meyakininya.
Adapun perkara kedua, yaitu bahwa Khalifah terikat
dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya sekaligus dengan
metode intisbâth yang menjadi pegangannya, dalilnya adalah
bahwa hukum syariah yang diterapkan oleh Khalifah merupakan
hukum syariah baginya, bukan bagi yang lain. Artinya, hukum-
hukum tersebut merupakan hukum syariah yang diadopsi oleh
Khalifah untuk menjalankan semua perbuatannya sesuai dengan
hukum-hukum tersebut, bukan dengan sembarang hukum
syariah. Dengan demikian, jika Khalifah meng-istinbâth suatu
hukum atau taklid dalam suatu hukum tertentu, maka hukum
syariah itu merupakan hukum Allah bagi dirinya. Karena itu,
ketika mengadopsi suatu hukum untuk kaum Muslim, Khalifah
harus terikat dengan hukum-hukum syariah tersebut. Ia tidak
boleh mengadopsi hukum yang berbeda dengan hukum hasil
ijtihadnya atau hasil taklidnya. Karena hukum yang berbeda itu
bukan hukum Allah baginya, bukan hukum syariah baginya, dan
berikutnya juga bukan merupakan hukum syariah bagi kaum
Muslim. Dengan demikian, dalam mengeluarkan perintah-
perintah untuk rakyat, Khalifah wajib terikat dengan hukum-
hukum yang telah diadopsinya, dan ia tidak boleh mengeluarkan
perintah yang berbeda dengan hukum-hukum yang telah
diadopsinya itu. Sebab, jika ia melakukannya maka seakan-akan
ia telah mengeluarkan perintah yang tidak berdasarkan hukum
syariah. Dari sini maka Khalifah tidak boleh mengeluarkan
perintah yang berbeda dengan hukum yang telah diadopsinya.
Demikian juga, bahwa pemahaman hukum syariah akan
berbeda-beda mengikuti metode istinbâth-nya. Jika Khalifah
berpandangan bahwa ‘illat hukum akan dinilai sebagai ‘illat
syar‘iyyah jika diambil dari nash syariah, bahwa maslahat
bukanlah ‘illat syar‘iyyah, dan ia juga tidak memandang al-
mashâlih al-mursalah sebagai dalil syariah, berarti ia telah
menentukan metode istinbâth (penggalian hukum) bagi dirinya
sendiri. Dalam kondisi ini ia wajib terikat dengan metode tersebut.
Karena itu, ia tidak boleh mengadopsi suatu hukum yang dalilnya
adalah al-mashâlih al-mursalah atau mengambil suatu qiyâs yang
didasarkan pada ‘illat yang tidak diambil dari nash syariah. Sebab,
hukum tersebut bukanlah hukum syariah baginya, karena ia
sendiri telah memandang bahwa dalil hukum tersebut bukanlah
dalil syariah. Dengan demikian, dalam pandangannya, hukum
itu bukan hukum syariah. Selama hukum itu bukan hukum
syariah bagi Khalifah, maka hukum itu juga bukan hukum syariah
bagi kaum Muslim. Karena itu, jika Khalifah mengadopsi hukum
itu, maka seakan-akan ia telah mengadopsi hukum yang tidak
berasal dari hukum syariah. Jelas, haram baginya melakukan
hal itu. Jika Khalifah seorang muqallid atau mujtahid mas’alah
(mujtahid yang hanya mampu berijtihad dalam masalah tertentu
saja, peny.) dan bukan seorang mujtahid mutlak (mujtahid yang
mampu berijtihad dalam semua masalah agama dengan metode
istinbâth-nya sendiri, peny.) atau mujtahid mazhab yang memiliki
metode tertentu dalam melakukan istinbâth (dengan merujuk
pada metode ijtihad mazhab tertentu, peny.), maka ia melakukan
tabanni berdasarkan mujtahid yang ia ikuti, atau menurut hasil
ijtihadnya dalam satu masalah tertentu selama ia memiliki
landasan dalil atau—setidak-tidaknya—syubhah dalîl. Dalam
kondisi ini, Khalifah wajib terikat dengan perintah-perintah yang
ia keluarkan saja. Dengan begitu, ia tidak akan mengeluarkan
perintah, kecuali sesuai dengan hukum yang diadopsinya.
(Bab: KHALIFAH dalam kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M)
Kamis, 18 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar