Sebelumnya kami telah menjelaskan dalil-dalil baiat dan
bahwa baiat adalah metode pengangkatan khalifah dalam Islam.
Adapun bagaimana baiat itu terjadi, maka ia bisa dilakukan
dengan cara berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan.
Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadis, ia berkata, “Aku
pernah menyaksikan Ibn Umar pada saat orang-orang telah
bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan. Ibn Umar
berkata bahwa ia telah menulis: Aku berikrar untuk
mendengarkan dan menaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan
sebagai amirul mukminin atas dasar Kitabullah dan Sunnah RasulNya
selama aku mampu.”
Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja, disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang
yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang
belum balig.
Abu Uqail Zuhrah bin Ma‘bad telah menyampaikan
hadis dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa
dengan Nabi saw. Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti
Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata, “Ya Rasulullah
saw., terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw. bersabda, “Ia masih
kecil.” Beliau lalu mengusap kepalanya dan mendoakannya. (HR
al-Bukhari).
Adapun lafal baiat tidak harus terikat dengan lafal-lafal
tertentu. Akan tetapi, lafal baiat tentu harus mengandung makna
sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah RasulNya
bagi Khalifah, serta harus mengandung makna kesanggupan untuk
menaati Khalifah dalam keadaan sulit atau lapang,
disenangi atau tidak disenangi, bagi orang yang memberikan
baiat kepadanya. Nanti akan dikeluarkan undang-undang untuk
menentukan redaksi baiat sesuai dengan berbagai penjelasan
sebelumnya. Manakala pihak yang membaiat telah memberikan
baiatnya kepada Khalifah, baiat itu menjadi amanah di atas
pundak pihak yang membaiat, yang tidak boleh mereka cabut.
Sebab, baiat ditinjau dari segi legalitas terwujudnya kekhilafahan
merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan
maka wajib untuk terikat dengannya. Kalau pihak yang
memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu
tidak diperbolehkan. Ada riwayat dalam Shahîh al-Bukhâri dari
Jabir bin Abdullah ra. yang menyebutkan, bahwa seorang Arab
badui telah membaiat Rasulullah saw. atas dasar Islam. Kemudian
ia menderita sakit, lalu ia berkata, “Kembalikan baiatku
kepadaku!” Akan tetapi, Beliau menolaknya. Lalu orang itu
datang lagi dan berkata, “Kembalikan baiatku kepadaku!” Nabi
saw. kemudian keluar, lalu Beliau bersabda:
Madinah ini seperti tungku (tukang besi ) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya. (HR al-Bukhari).
Dari Nafi’ juga diriwayatkan bahwa ia berkata: Abdullah
bin Umar pernah berkata kepadaku: Aku pernah mendengar
Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. (HR Muslim).
Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan
melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja,
ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat
in‘iqâd atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah
dibaiat secara sah dengan baiat in‘iqâd kepadanya. Adapun jika
baiat itu baru permulaan dan baiat tersebut belum sempurna,
maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya, dengan
syarat, baiat in‘iqâd dari kaum Muslim kepada Khalifah itu belum
sempurna. Larangan dalam hadis itu berlaku untuk orang yang
menarik kembali baiat dari Khalifah, bukan menarik kembali baiat
dari seseorang yang belum sempurna jabatan kekhilafahannya.
(dari kitab: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Penerbit: Dar al-Ummah Pengarang: Hizbut Tahrir. Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M).
Kamis, 18 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar